EMOTIONAL BRANDING ERA


Saat ini marketers harus menyadari bahwa kegitan pemasaran mereka kepada customer harus lebih personal. Manusia pada dasarnya senang dipelakukan lebih personal dan mengena pada hati mereka. Kata “Emosional” disini adalah bagaimana suatu merek menggugah perasaan dan emosi konsumen. Marketers kini dituntut suatu metodologi baru bagaimana menghubungkan merek dengan konsumen secara emosional sekaligus kepuasan terhadap material. Contohnya mengapa orang memakai merek-merek seperti Ferari, Dior , Lois Vuitton , Berobat di Erha, terbang bersama Singapore Airlines ? ketika ditanya pasti mereka akan mengatakan lebih kepada perasaanya “ saya sih merasa……”  Dalam hal ini publik ingin merasa bahwa hidup mereka terjamin dengan komitmen yang diberikan oleh sebuah brand.

Sering saya katakan pada mahasiswa “ Dimana sesungguhnya brand itu hidup ?” saya selalu mengingatkan mereka bahwa brand itu hidup di “otak” manusia . Coba saja anda datang ke rumah makan dan minta “Aqua” lalu anda diberi merek lain maka beberapa dari anda masih saja “ nrimo atau anda datang ke KFC dan minta coca cola dan anda di beri pepsi pun “nrimo” saja . Meski sekarang saya perhatikan nama brand pepsi selalu disebut oleh pelayan KFC sehingga customer pun akan menjawab pepsi.  Ini sebuah usaha hebat karena pelayan sebagai agent perubahan dimana mereka akan merubah kebiasaan mereka yang dulu selalu meyebutkan “coca-cola” di KFC kini dengan sendirinya konsumen akhirnya meminta sendiri “ saya minumnya pepsi ya mba ..” meski merinda dan 7 up sepertinya masih perlu usaha lagi.  Bila diteliti sebenarnya brand itu sudah tertanam di otak orang , sehingga apa bila ada perasaan takut menggunakan , tidak nyaman , kurang “ apalah-apalah “ maka bisa jadi itu datang secara psikis saja.

Pernah saya tanyakan kepada teman saya yang pergi ke Singapore menggunakan Singapore Airlines , lalu saya bertanya kepada dia tentang alasanya menggunaka Singapore Airlines lalu dia menjawab “ Lebih ngerasa aman aja gitu, coba kalo naik maskapai X , rasanya saya menjadi “Ahli Berodadan sepanjang jalan bisa jadi berdoa  “  inilah bila sebuah brand sudah sampai di otak manusia bisa turun ke perasaan sehingga timbul rasa percaya , rasa aman dan tenang ataupun sebaliknya.

Dengan kata lain , konsumen kini menuntut untuk diperhatikan perasaan mereka jadi buat apa anda bikin produk berkualitas namun perasaan konsumen anda tidak diperhatikan. Hal yang perlu diperhatikan oleh marketers adalah untuk membuang keyakinan yang selama ini bersemi bahwa kegiatan pemasaran itu hanya berkaitan dengan target market nya saja namun sesunggunya lebih kepada target “ mind and emotion” ( Gobe, 2001; XXVII)

Dijaman cyber ini, orang mudah untuk menjadi “Traumatik without Self Experience” atau trauma tanpa mengalaminya sendiri dan hanya mendengar dari cerita orang lain . Banyak akses mereka menjadi trauma misalnya cerita –cerita yang timbul di status-status misalnya “ pas naik pesawat X, saya abborted landing padahal landasan sudah terlihat “ bila ditinjau secara rasional , kejadian aborted landing itu terjadi karena angin kencang atau kejadian lain dimana pilot mengambil kepetusan itu justru dengan alasan keselamatan penumpang, namun mau tidak mau , suka tidak suka ini manusia awam akan mengaitkannya dengan brand . Saya memperhtikan beberapa rekan langsung merubah tiket mereka bahkan rela tiket nya hangus dan naik pesawat dengan brand ternama setelah membaca status di sosial media . Ketika saya tanya alasan mereka mereka bilang “ Jadi Trauma Duluan “ lalu saya tanyakan , apakah dia pernah naik pesawat X? Dia jawab “ pernah “ lalu saya tanyakan lebih lanjut “ pernahkan mengalami hal serupa?“ dia bilang “ Belum.. jangan sampai dech .. amit amit.. ini aja gw udah trauma duluan” . Terlihat sudah bahwa brand benar benar bermain di otak mereka , padahal setelah ganti pesawat saya perhatikan produksi pesawat mereka sama sama dari pabrik pesawat terbang ternama dan sejenis.

Dalam upaya membangun emotional branding dialog antara marketers sebagai representative dalam hal promosi dari perusahaan harus dapat mencari celah bagaimana berkomunikasi dengan mencari realitas yang dekat dengan konsumen.


Leave a Reply